Oleh: Muhajir
(Pegiat Literasi Paradigma Institute)
Pancasila lahir tidak untuk jadi sakti. Ia tidak (atau tak boleh) kebal dan keramat. Olehnya itu, Pancasila adalah ideologi yang punya rongga: atau dalam bahasa Bung Karno, seperti “kawah candradimuka”.
Kata “kawah” adalah alegori tentang ruang yang berlubang dan itu diandaikan ada dalam tubuh pancasila. Hal itulah yang mengindikasikan ia tak penuh: pancasila adalah kontingensi yang menyadari dirinya sebagai kekurangan itu sendiri (lack).
Tapi justru karena itu Pancasila bisa diterjemahkan secara unik dan kreatif pada keragaman kultur dan pikiran manusia. Dalam rongga itulah, masyarakat Indonesia terlibat dalam kerja-kerja hermeneutis untuk menghasilkan tafsir kontekstual agar Pancasila relevan di setiap perjalanan zaman.
Dalam perjalanan itu, tafsir yang saling bertentangan mencoba untuk masuk memenuhi kawah itu: kadang kita temui ada tafsir yang merasa dirinya sebagai representasi utuh tentang Pancasila. Ada pula yang berusaha menolaknya mentah-mentah dengan mengajukan suatu ideologi tandingan.
Tidak apa-apa. Itulah konsekuensi Pancasila sebagai “kawah candradimuka”. Sejak awal Bung Karno telah memprediksi akan terjadinya adu gagasan tersebut, dengan menyebutnya “perjoangan faham”, yang saling “bergosok”, yang membuat “bergolak mendidih kawah candradimuka”.
Namun di sinilah intinya: penamaan Pancasila sebagai “kawah candradimuka” mengindikasikan, ia bukan ideologi yang meliputi segala sesuatu. Hingga ia tidak menjadi maha tahu.
Pancasila dirancang untuk tidak menjadi “yang absolut”. Justru karena rongga itu, kekosongan itu, kekurangan itu, Pancasila menjadi wadah masyarakat untuk berkembang dengan cara “perjoangan faham”. Saya akan menghaluskan frasa ini dengan memakai kata: dialog.
Melalui proses saling “bergosok” itu, tafsir tentang pancasila akhinya ikut berkembang hingga menemukan wujudnya yang paling sesuai dengan konteks zamannya.
“Perjoangan faham” dan keterbukaan dialog itu pun mengindikasikan, Pancasila bukan milik orang Islam, milik Kristen, milik ini, milik itu. Semua berhak memiliki Pancasila, berhak berkembang dengan cara mengisi ruang kosong Pancasila sesuai caranya masing-masing.
Originally posted 2023-06-04 15:08:46.