Oleh: Iskandar Saputra
(Aktivis dan Pemerhati Demokrasi, Pengajar dan Pembina Alhikmah Institut)
***
Pada tanggal 14 Februari tahun 2024 mendatang menjadi momen yang sangat penting dalam perjalanan dan proses keberlangsungan demokrasi di negara kita. Pemilihan umum (Pemilu) tidak hanya sekadar pesta politik rakyat Indonesia yang di gelar 5 tahun sekali. Namun perhelatan politik ini akan menentukan nasib bangsa di masa yang akan datang. Apakah bangsa ini akan berdiri tegar atau kah sekonyong – konyong menjadi sisa-sisa sejarah atau fosil, sangat bergantung pada keberlanjutan proses demokrasi.
Mengapa harus demokrasi?
Salah satu sebab fundamental berdirinya satu negara adalah karena keberadaan masyarakat, rakyat, penduduk atau apapun istilahnya. Artinya jika masyarakat tidak ada maka negara menjadi sangat mustahil untuk eksis. Dengan demikian eksistensi negara bersandar ke masyarakatnya. Barangkali bisa kita sebut negara hanya tampakan luar yang dibelakangnya terdapat suatu sistem pertahanan bernama rakyat. Kokoh dan lembeknya suatu negara sangat bergantung pada sistem pertahanannya yakni masyarakat.
Sehingga negara yang mengabaikan masyarakatnya berpotensi menjadi fosil sejarah dan kehilangan pijakan eksistensi. Karena itu negara memiliki kepentingan yang elementer untuk melindungi segenap kehidupan masyarakatnya. Mengembangkan potensi -potensi masyarakatnya dengan membuat sejumlah institusi untuk masyarakatnya. Agar mendapatkan kehidupan lebih baik untuk keberlanjutan proses sejarah dan eksistensinya sebagai negara.
Olehnya itu, menjadi sesuatu yang logis jika negara menjadi hak masyarakatnya. Karena negara merupakan koeksistensi dari masyarakatnya. Lantas dari mana asal muasal hak tersebut? Atas dasar apa klaim bahwa negara adalah hak masyarakatnya? Secara logis, hak itu ada lantaran keberadaan negara bergantung pada keberadaan rakyatnya. Dengan demikian secara eksistensial masyarakat atau rakyat memiliki kekuasaan atas negara.
Demokrasi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratío) yang terbentuk dari dua kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (kratos) “kekuasaan”. Dengan demikian demokrasi adalah kekuasaan rakyat atau kedaulatan rakyat. Oleh karena itu secara esensial demokrasi hendak mengambarkan relasi antara masyarakat sebagai faktor determinan bagi keberadaan negara atau relasi kuasa antara yang memiliki hak (hak sebagai causa bagi keberadaan negara) dan kewajiban negara (sebagai efek dari keberadaan rakyatnya). Demikian sebaliknya rakyat memiliki kewajiban atas negara dalam melestarikannya dengan senantiasa menjaga persatuan dan keutuhan bangsa-bangsa, suku, budaya bahkan agama.
Secara terminologi, demokrasi adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari sini kita dapat melihat bahwa sistem demokrasi adalah jalan untuk menjamin agar hak eksistensial rakyat terhadap negara benar-benar dapat merealitas demi kelangsungan hidup negara tersebut. paling tidak ada tiga hal dalam defenisi tersebut yang barangkali perlu untuk kita pertegas.
Pertama, kekuasaan dari rakyat. Hal ini mengindikasikan jika kekuasaan negara adalah hak pemberian dari rakyat. Kedua, oleh rakyat. Maksudnya adalah yang menjalankan kekuasaan. Lantas siapa yang menjalankan kekuasaan tersebut? Apakah rakyat semuanya ataukah sebagiannya saja yang diamanatkan oleh sebagian lainnya? Tentu saja sebagian di antaranya mereka. Jika sebagian di antara mereka, lantas bagaimana mekanismenya?
Ketiga, untuk rakyat; jika kita mencermati persoalan-persoalan kita, maka barangkali lebih banyak persoalan pada aspek ketiga dari sistem demokrasi. Sebab di sini selain kasat kusut kepentingan yang multidimensi, faktor keberpihakan yang menjalankan kekuasaan menjadi sangat penting. Seringkali kita melihat kelompok penolak demokrasi menjadikan aspek ketiga ini sebagai fundamental pemikirannya dalam memberi stigma negatif pada demokrasi. Karena menilai rumusan kebijakan penguasa barangkali tidak mewakili banyak kepentingan sehingga menilai demokrasi tidak terlalu banyak memberikan kontribusi terhadap rakyat. Padahal demokrasi tidak hanya aspek ketiga sebagai elemen hakiki dari demokrasi. Namun jika hal ini tidak dipikirkan secara serius maka demokrasi hanyalah sensasi untuk memuaskan dahaga kuasa.
Kendati aspek ketiga dalam demokrasi ”untuk rakyat” itu hanya dapat berjalan bergantung pada aspek kedua yaitu oleh rakyat, yakni mereka-mereka yang diutus rakyat untuk menjalankan kekuasaan, maka pada aspek kedua ini menjadi sangat krusial. Lantaran efektivitasnya dalam mempengaruhi aspek ketiga, dengan membangun pertarungan yang sehat dan menjunjung tinggi sportivitas akan membentuk sistem kekuasaan yang benar-benar genuine dari kehendak rakyat. Sehingga akan melahirkan platform kebijakan yang mengakar pada rakyat.
Lantas seperti apa mekanisme dan proses politiknya? Mari kita lihat bagaimana sejarah merekam proses demokrasi kita. Pertama, demokrasi parlementer yang dimulai pada kurun waktu 1945- 1959. Lebih dari satu dekade sistem demokrasi ini kita anut. Pada masa ini pula kita melakukan pemilu untuk pertama kalinya yang digelar pada tahun 1955. Kedua, demokrasi terpimpin yang dimulai pada tahun 1959-1965. Pada masa ini juga presiden mengeluarkan dekrit presiden pada 5 Juli 1959. Ketiga, demokrasi pancasila yang dimulai pada tahun 1965-1998. Hampir 33 tahun lamanya sistem ini bercokol dinegeri ini. Keempat, demokrasi era reformasi dimulai pada tahun 1998- sekarang. Di era ini digadang-gadang sebagai era dimana demokrasi hendak kembali diatur dan berjalan pada prinsip dasarnya yaitu pemilu secara langsung.
Dari sejarah demokrasi tersebut, kita dapat menyaksikan dan menghitung usia demokrasi kita hampir sama dengan usia negara ini. Tentu dengan berbagai fase perkembangan dan dinamikanya. Kita menganut sistem demokrasi justru sejak awal berdirinya negara ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa ide penolakan demokrasi di negara ini tentu ahistori. Oleh karena itu sejarah negara ini adalah sejarah demokrasi dan rakyatnya.
Namun demikian, seperti halnya makhluk hidup pada umumnya yang dapat terinfeksi virus atau pun bakteri tertentu sehingga ia jatuh sakit. Namun bukan berarti ketika seseorang sakit dan seseorang yang lain berhak mengakhiri hidupnya. Demokrasi mungkin bisa sakit seperti halnya makhluk hidup. Akan tetapi menjadi musykil jika demokrasi yang diamputasi. Bahwa mesti ada perbaikan-perbaikan dari platform demokrasi kita, agar negara tak semena- mena membelakangi rakyatnya.
Banyak gerakan-gerakan rakyat yang menjadi antibiotik untuk mengembalikan kebugaran demokrasi sehingga dapat kembali tampil sebagai representasi otentik rakyat. Misalnya saja gerakan reformasi menuntut adanya satu perubahan dalam tatakelola demokrasi kita yang konon telah melesat jauh dari prinsip dasarnya. Sehingga rakyat kehilangan kontrol atas kekuasaan dan dewan perwakilan rakyat selaku lembaga legislatif mengalami kemandekan dalam fungsi pengawasanya menjadi seperti macan ompong dihadapan eksekutif.
Untuk itu reformasi menghendaki demokrasi dikembalikan pada prinsip dasarnya yaitu pemilihan umum secara langsung. Tentu saja kita dapat menyaksikan buah manisnya. Katakanlah lahirnya pemimpin dari berbagai latarbelakang, sehingga kekuasaan tidak hanya berpusar dan berotasi pada segelintir orang saja. Artinya lahirnya sosok pemimpin yang berpihak pada rakyat sangat dimungkinkan peluangnya dalam demokrasi saat ini.
Pemilihan umum
Apakah pemilu merupakan representasi dari demokrasi ataukah sebaliknya? Jika kita menelisik pengertian demokrasi yakni kekuasaan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat, maka tentu pemilu menjadi sesuatu yang relevan untuk mewujudkan sistem demokrasi itu sendiri. Pemilu secara ontologi tak lain adalah derivate konsekuensi dari demokrasi yang sudah kita mulai sejak awal kemerdekaan. Lantas bagaimana sejarah dan perkembangan pemilu kita?
Pertama, Era Orde Lama. Pemilihan umum pertama kali digelar dinegara tercinta ini pada tahun 1955 dengan dasar hukum UU No.7 tahun 1953. Tujuannya adalah memilih anggota konstituante dan anggota DPR untuk mendorong penyusunan UUD tetap. Konon pemilu yang digelar pertama kali ini sebagai pemilu yang paling fenomenal dan mencerminkan nilai demokrasi.
Kedua, Era Orde baru. Karena kondisi dan situasi politik yang begitu heboh sehingga dalam kurun waktu 16 tahun pemilihan umum tak pernah terselenggarakan lagi. Tahun 1966 telah dikeluarkan taps MPRS no.XXII/MPRS/1966 tentang kepartaian, keormasan dan kekaryaan. Pada tahun 1969 ditetapkan UU Nomor 15 tahun 1969 tentang pemilu dan UU Nomor 16 tahun 1969 tentang susduk MPR,DPR, DAN DPRD atau tiga tahun setelah keluarnya taps MPRS. Sehingga pemilu pertama yang digelar oleh orde baru pada tahun 1971. Paling tidak di periode orde baru ini telah menggelar 6 kali pemilihan umum yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 , dan 1997.
Ketiga, Era Reformasi. Tahun 1999, di tengah euporia reformasi dengan tuntutan pemilihan umum secara langsung, pemerintahan transisi mengajukan rancangan undang-undang sehingga keluarlah Tap MPR NO. XIV/MPR/1998 tentang perubahan atas ketetapan MPR NO.III/MPR/1998 tentang pemilihan umum terdapat 5 point penting dari TAP ini dan menariknya pada poin kelima menjadi dasar pembentukan penyelenggara pemilu yang bebas dan mandiri serta diawasi oleh suatu badan pengawas yang mandiri. Dari sinilah asal muasal sejarah berdirinya badan penyelenggara yang kita kenal hari ini dengan sebutan Komisi pemilihan umum disingkat kpu. Kendati saat itu penyelenggara pemilu terdiri dari unsur partai dan pemerintah
Tahun 2004, pemilu memberi angin perubahan baru dimana untuk kali pertama masyarakat Indonesia memilih presiden dan wakil presiden secara langsung dan penyelenggara pemilu tidak lagi diisi oleh peserta pemilu dan relative lebih mandiri dari penyelenggara sebelumnya. Hal ini terjadi setelah di amandemen UUD NRI 1945 yang mengatur tentang hal yang mendasar pada pemilu, mulai dari asas, system pemilihan sampai prinsip lembaga penyelenggara pemilu.
Tahun 2009, sandaran konstitusional pemilu tidak berubah yaitu UUD NRI 1945, namun terjadi perubahan pada UU Pemilu, UU Pilpres dan UU penyelenggara Pemilu misalnya UU No. 22Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu, UU No.10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU no.42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden. Dari sini pula awal mula berlakunya ambang batas perolehan suara minimal untuk partai politik 2,5 %
Tahun 2014, terdapat perkembangan hukum kepemiluan dimana lembaga pengawas pemilu dipermanenkan hingga provinsi yang haeri ini kita kenal sebagai badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan DKPP menjadi organ tersendiri. Tahun 2019, kita memasuki satu perkembangan yang baru dimana tahun ini melahirkan lembaga pengawas pemilu hingga kabupaten/kota yang permanen.
Dari sini dapat kita saksikan betapa perjalanan sejarah kepemiluan kita melewati berbagai fase dan mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Tentu saja sebagai anak bangsa kita patut mengapresiasi atas perbaikan sistem pemilu ini yang akan memperkokoh kaki tangan demokrasi kita. Sehingga kita akan menemukan idealitas dari proses sejarah demorasi kita yang benar-benar mengakar pada rakyat di masa-masa yang akan datang
Originally posted 2023-05-31 06:02:00.